Sungguh, Allâh سبحانه وتعالى telah memerintahkan umat manusia untuk beribadah hanya kepada-Nya. Allâh عزوجل berfirman:
يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوْا رَبَّكُمُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ وَالَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙيٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوْا رَبَّكُمُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ وَالَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ
Wahai manusia! Beribadahlah kepada Rabbmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa, (QS. Al-Baqarah/2:21)
Dan ibadah seseorang tidak akan diterima kecuali syarat ikhlas terpenuhi. Allâh عزوجل
berfirman:
وَمَآ اُمِرُوْٓا اِلَّا لِيَعْبُدُوا اللّٰهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ ەۙ حُنَفَاۤءَ وَيُقِيْمُوا الصَّلٰوةَ وَيُؤْتُوا الزَّكٰوةَ وَذٰلِكَ دِيْنُ الْقَيِّمَةِۗ
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya beribadah kepada Allâh dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, (QS. Al-Bayyinah/98:5)
Bahkan secara khusus, Allâh عزوجل memerintahkan Nabi-Nya Muhammad ﷺ untuk ikhlas,
sebagaimana Allâh عزوجل berfi rman kepadanya:
فَاعْبُدِ اللّٰهَ مُخْلِصًا لَّهُ الدِّيْنَۗ
Maka beribadahlah kepada Allâh dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya.(QS. Az-Zumar/39:2)
Al-Hafizh Ibnul Qayyim رحمه الله dalam Madârijus Sâlikîn2 menukil beberapa perkataan para Ulama tentang pengertian ikhlas yang intinya adalah meniatkan ibadah kepada Allâh سبحانه وتعالى saja dan menjaganya dari semua cacat, termasuk seseorang yang sedang beribadah harus membersihkan hatinya dari keinginan mendapatkan perhatian makhluk. Alangkah bagus perkataan Abu Utsman Said bin Ismail رحمه الله yang mengatakan, “Ikhlas yang benar yaitu melupakan pandangan mata umat manusia karena hatinya konsen kepada Pencipta.” Perkataan ini diriwayatkan al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman.3
Jadi, orang yang ikhlas adalah orang yang mengerahkan semua keinginannya hanya untuk mendapatkan ridha Allâh عزوجل . Dia tidak menginginkan seorang pun melihat amalannya kecuali Allâh عزوجل . Dia tidak mengharap balasan amalnya kecuali dari Allâh سبحانه وتعالى . Artinya, semakin jauh seseorang yang sedang beramal dari penglihatan dan pendengaran manusia, maka semakin terjaga agamanya.
Allâh سبحانه وتعالى berfi rman tentang ibadah sedekah:
﴿ اِنْ تُبْدُوا الصَّدَقٰتِ فَنِعِمَّا هِيَۚ وَاِنْ تُخْفُوْهَا وَتُؤْتُوْهَا الْفُقَرَاۤءَ فَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ ۗ وَيُكَفِّرُ عَنْكُمْ مِّنْ سَيِّاٰتِكُمْ ۗ وَاللّٰهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرٌ ٢٧١ ﴾
Jika kamu menampakkan sedekah(mu), maka itu adalah baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu. Dan Allâh akan menghapuskan dari kamu sebagian kesalahan kesalahanmu; dan Allâh mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Baqarah/2:271)
Imam at-Thabari رحمه الله mengatakan, “Jika kalian menyembunyikan dan tidak menampakkannya, serta kalian berikan (sedekah itu) kepada orang orang fakir dengan diam-diam (tanpa diketahui oleh seorang manusiapun-red) maka itu lebih baik untuk kalian. Dia berkata, “Kalian menyembunyikan ibadah sedekah itu lebih baik dari kalian menampakkannya.”4
Juga Rasûlullâh ﷺ memotivasi umatnya agar merahasiakan sedekah. Imam ath-Thabari رحمه الله membawakan riwayat dari Muawiyah bin Jayyidah secara marfu’ , Beliau ﷺ bersabda:
صَدَقَةُ السِّرِّ تُطْفِئُ غَضَبَ الرَّبِ
Ibadah sedekah yang dirahasiakan akan meredam kemurkaan Rabbmu5
Dan ketika Nabi ﷺ menyebutkan tentang tujuh orang yang mendapat naungan Allâh عزوجل di hari kiamat, diantaranya Beliau ﷺ menyebutkan:
وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ فَأَخْفَاهَا حَتَّى لَا تَعْلَمُ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ يَمِيْنُهُ
dan seseorang yang bersedekah dengan suatu sedekah lalu dia merahasiakannya sehingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang disedekahkan olehtangan kanannya. (Muttafaqun ‘alaih)6
Penyampaian Nabi ﷺ dalam hadits ini dengan menggunakan metode mubâlaghah.
Ibnu Hajar رحمه الله mengatakan bahwa ini termasuk majaz tasybîh (perumpamaan). Kesimpulan ini dikuatkan oleh riwayat Hammad bin Zaid yang ada pada al-Jauzaqî, “Bersedekah dengan sedekah yang seakan akan tangan kanan merahasiakan sedekahnya dari tangan kirinya.” 7
Di antara Ulama Salaf ada yang disangka sebagai orang yang bakhil (pelit), karena mereka tidak pernah melihat dia bersedekah, sebagaimana diriwayatkan dari Ibnu Abi Ashim dari Muhammad bin Ishaq, dia berkata, “Kala itu di antara penduduk Madinah ada yang hidup tanpa mengetahui siapa yang memberi nafkah kepada mereka namun (mereka baru mengetahuinya) ketika Ali bin al-Husain wafat, (karena) mereka tidak lagi mendapatkan nafkah yang biasa mereka dapatkan pada waktu malam.”
Adz-Dzahabi رحمه الله mengatakan secara muallaq dia mengatakan, “Oleh karena itu, dia (Ali bin al-Husain) disangka orang yang bakhil, namun sesungguhnya dia bersedekah dengan sembunyi sembunyi sementara keluarganya menyangka dia mengumpulkan banyak dirham (harta). Diantara mereka ada yang berkata, ‘Kami tidak kehilangan sedekah yang diberikan secara sembunyi-sembunyi sampai Ali wafat.’8
Dan diantara tujuh orang yang mendapat naungan Allâh عزوجل pada hari kiamat adalah orang yang disebutkan dalam hadits:
ورَجُلٌ ذَكَرَ اللَّهَ خَالِيًا فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ
Seseorang yang mengingat Allâh saat dia seorang diri lalu air matanya menetes.
Cobalah, kita merenungi kalimat khâliyan (saat seorang diri) agar kita bisa memahami bahwa dia melakukan amal shaleh ini semata-mata karena mengharapkan wajah Allâh عزوجل , karena tidak ada seorangpun yang menyaksikannya.
Demikian juga hadits yang diriwayatkan Abu Daud dari Uqbah bin Âmir رضي الله عنه bahwa sesungguhnya Nabi ﷺ bersabda:
يَعْجَبُ رَبُّكَ مِنْ رَاعِيْ غَنَمٍ فِيْ رَأْسِ شَظِيَّةِ الجَبَلِ يُؤَذِّنُ بِالصَّلَاةِ وَيُصَلِّي فَيَقُوْلُ اللَّهُ عَزَّوَجَلَّ انْظُرُوْا إِلَى عَبْدِيْ هَذَا يُؤَذِّنُ وَيُقِيْمُ الصَّلَاةَ يَخَافُ مِنِّيْ قَدْ غَفَرْتُ لِعَبْدِي وَأَدْخَلْتُهُ الجَنَّة
Rabbmu kagum terhadap seorang pengembala kambing yang berada di atas sebuah gunung, dia adzan untuk shalat dan kemudian melaksanakan shalat maka Allâh عزوجل berfi rman, “Kalian lihatlah hamba-Ku ini, dia adzan kemudian mendirikan shalat karena takut kepada-Ku maka sungguh Aku telah ampuni hamba-Ku dan Aku masukkan dia ke dalam surga.”9
Jadi, orang yang ikhlas melaksanakan amalannya disaat kebanyakan manusia lalai darinya, sebagaimana Nabi ﷺ menjadikan sepertiga malam terakhir sebagai waktu yang paling utama dalam satu hari. Imam Ahmad رحمه الله meriwayatkan dari Amr bin Abasah bahwa dia berkata kepada Nabi ﷺ , “Kapan waktu yang paling utama?” Beliau ﷺ menjawab:
جَوْفُ اللَّيْلِ الآخِرِ
sepertiga malam yang terakhir10
yang dimaksudkan oleh Nabi ﷺ dalam sabda Beliau ﷺ di atas adalah merahasiakan ibadah pada waktu yang disebutkan. Kesimpulan ini berdasarkan apa yang disebutkan dalam hadits Abdullah bin Salam رضي الله عنه yang dibawakan oleh Imam at-Tirmidzi رحمه الله :
Wahai umat manusia! Sebarkanlah salam, dan berilah makanan dan sambunglah tali silaturrahmi dan shalat malamlah ketika manusia sedang lelap tidur, niscaya engkau akan masuk surga dengan selamat11
Dan yang lebih jelas lagi dari hadits di atas adalah hadits at-Thabrani dari Shuhaîb bin Nu’man رضي الله عنه yang diriwayatkan secara marfu’:
فَضْلُ صَلَاةِ الرَّجُلِ فِيْ بَيْتِهِ عَلَى صَلَاتِهِ حَيْثُ يَرَاهُ النَّاسُ، كَفَضْلِ الْمَكْتُوْبَةِ عَلَى النَّافِلَةِ
Keutamaan shalat yang dilakukan seseorang di rumahnya (sunnah) dibandingkan dengan shalatnya ketika dilihat manusia seperti keutamaan shalat wajib bila dibandingkan shalat sunnah.12
Dan di antara adab berdoa adalah melirihkannya, sebagaimana firman Allâh عزوجل :
﴿ اُدْعُوْا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَّخُفْيَةً ۗاِنَّهٗ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِيْنَۚ ٥٥ ﴾
Berdoalah kepada Rabbmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allâh tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. (QS. Al-A’raf /7:55)
Oleh karena itu juga, Allâh عزوجل memuji Nabi Nya Zakaria dengan firman-Nya:
﴿ اِذْ نَادٰى رَبَّهٗ نِدَاۤءً خَفِيًّا ٣ ﴾
Yaitu tatkala ia berdoa kepada Rabbnya dengan suara yang lembut.(QS. Maryam/19:3)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyebutkan beberapa faedah merahasiakan doa. Diantara faedah yang beliau sebutkan adalah lebih bagus dalam keikhlasan dan begitu pula dalam masalah merahasiakan dzikir, berdasarkan fi rman Allâh عزوجل :
﴿ وَاذْكُرْ رَّبَّكَ فِيْ نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَّخِيْفَةً وَّدُوْنَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ وَالْاٰصَالِ وَلَا تَكُنْ مِّنَ الْغٰفِلِيْنَ ٢٠٥ ﴾
Dan sebutlah (nama) Rabbmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai. (QS. Al-a’raf/7:205)
Ayat-ayat dan hadits-hadits tentang ini banyak bahkan sangat banyak sekali. Semuanya menunjukkan bahwa menyembunyikan ibadah dari pandangan manusia merupakan salah satu tujuan syariat. Ini sudah menjadi permasalahan yang diakui pada zaman sahabat, sebagaimana diriwayatkan oleh Hanad bin as-Sâri رحمه الله dari Zubair bin Awwam رضي الله عنه , dia mengatakan, “Siapa diantara kalian yang bisa memiliki amal shaleh yang dikerjakan secara sembunyi-sembunyi, maka hendaklah dia lakukan.”13
Ketika sebagian orang berusaha menyembunyikan kejelekkannya, tapi tidak berusaha merahasiakan kebaikannya, maka rasa ujub (bangga diri) akan mulai menyelinap ke dalam hati mereka. Abu Hâzim Salamah bin Dinar mengatakan, “Sembunyikanlah kebaikan kebaikanmu sebagaimana engkau menyembunyikan kejelekanmu! Janganlah kita merasa kagum dengan amalan kita karena sesungguhnya kita tidak tahu, apakah kita termasuk orang yang celaka ataukah orang yang bahagia?” perkataan ini diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam Syuabul Iman.14
Disamping itu, Allâh عزوجل akan memberikan balasan ibadah yang rahasia dengan balasan yang tidak diberikan kepada ibadah yang tidak dikerjakan secara sembunyi. Lihatlah, bagaimana Allah عزوجل mengistimewakan ibadah puasa dengan keutamaan yang tidak ada pada seluruh amalan baik lainnya. Abu Hurairah رضي الله عنه meriwayatkan dari Nabi ﷺ yang meriwayatkan dari Rabbnya:
كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ إِلَّا الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِيْ وَأَنَا أَجْزِيْ بِهِ
Semua amalan bani Adam itu adalah untuknya kecuali ibadah puasa. Ibadah puasa itu untuk-Ku dan Aku yang akan memberikan pahalanya (Muttafaqun Alaih)15
Abu Ubaid al-Qasim bin Sallâm رحمه الله mengatakan, “Ibadah puasa diistimewakan karena seseorang yang sedang mengerjakannya tidak terlihat. Karena ibadah puasa itu sesuatu (niat) yang ada di dalam hati … juga karena semua amalan-amalan itu tidak bisa dilakukan kecuali dengan gerakan-gerakan berbeda dengan puasa. Puasa itu dilakukan dengan niat yang tidak terlihat oleh pandangan manusia. Ini pemahaman hadits ini menurutku.” 16
Perhatikanlah! Bagaimana beliau memaknai keistimewaan puasa sebagai buah dari tersembunyinya ibadah puasa dari pandangan manusia.
Alasan ini disebutkan oleh Ibnu Jauzi dan disetujui al-Mârizi juga al-Qurthubi sebagaimana telah dinukil oleh Ibnu Hajar رحمه الله lalu beliau mengatakan, “Diantara para imam ada yang mencoba menghubungkan atau menyetarakan ibadah badaniyah dengan ibadah puasa, (misalnya, dengan) dia mengatakan, ‘Sesungguhnya ibadah dzikir yaitu mengucapkan lâ ilâha illallâh memungkinkanuntuk tidak terjangkiti riya karena ibadah ini khusus hanya dengan gerakan lisan saja dan tidak melibatkan anggota mulut lainnya. Artinya, orang yang berdzikir itu bisa mengucapkan kalimat dihadapan umat manusia akan tetapi tidak ada seorangpun yang mengetahuinya.”17
Cobalah kita renungkan -semoga Allâh menjaga kita semua- apa yang dilakukan para as salafus shaleh. Mereka tidak suka melihat orang yang menampakkan amalan terbaiknya. Ibrahim an-Nakhai’ رحمه الله mengisahkan tentang mereka dan ath-Thabari meriwayatkannya dari al-Hasan al-Bashri, dia mengatakan, “Sungguh kami telah mendapati beberapa kaum yang mereka ini tidak pernah melakukan secara terang-terangan segala amalan yang mampu mereka lakukan secara sembunyi-sembunyi.”18
Bahkan saking keras usaha mereka untuk mewujudkan keikhlasan, ada diantara mereka merahasiakan ibadahnya dari keluarga yang ada di rumahnya. Ini disebutkan oleh Imam adz-Adzahabi رحمه الله dari al-Fallâs رحمه الله , dia mengatakan bahwa al-Kharibi berkata, “Mereka dahulu senang bila seseorang memiliki amal shaleh yang disembunyikan sehingga tidak diketahui oleh pasangannya juga tidak diketahui oleh yang lainnya.” 19
Imam adz-Dzahabi juga mengatakan bahwa al Fallas رحمه الله mengatakan, “Aku pernah mendengar Ibnu Abi Adi mengatakan, ‘Daud bin Abi Hindun berpuasa 40 tahun, namun anggota keluarganya tidak ada yang mengetahuinya. Dia seorang pedagang sutera. Dia membawa makan siangnya lalu dia sedekahkan makanannya itu dalam perjalanannya.”20
Itulah para Salaf kita yang shaleh. Mereka adalah kaum yang telah berusaha menghilangkan cinta ketenaran (popularitas) dan kedudukan (jabatan) dari hati mereka, sehingga mereka harus berpura-pura ketika terpaksa. Imam Adz-Dzahabit meriwayatkan dari Sulaiman bin Harb dari Hammad, dia mengatakan, “Suatu ketika Ayyub saat berada dia sebuah majelis ilmu lalu ada suatu ibrah (pelajaran) yang membuatnya (tersentuh sehingga menangis lalu) berpura-pura membuang ingus sembari berkata, ‘Alangkah beratnya fl u ini.’21”22
Dan mereka berbeda-beda tingkatannya dalam menyembunyikan ibadahnya. Imam adz-Dzahabi رحمه الله membawakan perkataan Ibnu Wahhab, “Saya tidak pernah melihat orang yang lebih merahasiakan amalannya dibandingkan dengan Haiwah.” 23
Bahkan ada diantara para ahli ilmu zaman dahulu yang sengaja menyembunyikan tulisan ilmiyah sehingga tidak diketahui kecuali setelah mereka wafat, seperti kitab-kitab al-Hasan al Mawardi sebagaimana disebutkan Ibnu Khallikan dalam Wafi yat al-A’yan. 24
MANFAAT IKHLAS
Manfaat keikhlasan itu sangat banyak dan balasannya sangat tinggi dan agung. Seandainya, keikhlasan dan merahasiakan ibadah dari manusia hanya dibalas dengan kecintaan Allâh saja maka itu itu sudah sangat cukup sebagai sebuah kemuliaan dan keutamaannya. Imam Muslim meriwayatkan dari Saad bin Abi Waqqas رضي الله عنه secara marfu’;
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّقِيَّ الْغَنِيَّ الخَفِيَّ
Sesungguhnya Allâh mencintai seorang hamba yang bertakwa, al- ghani (yang merasa cukup) dan al- khafi (yang menyembunyikan amalannya)25
Dan telah tetap secara syariat dan ketentuan taqdir Allâh, sesungguhnya balasan itu sesuai dengan amalan. Sebagaimana seorang hamba merahasiakan amalannya dari manusia di dunia maka Allâh عزوجل akan merahasiakan balasannya sebagai balasan yang setimpal. Allâh عزوجل berfirman:
﴿ فَلَا تَعْلَمُ نَفْسٌ مَّآ اُخْفِيَ لَهُمْ مِّنْ قُرَّةِ اَعْيُنٍۚ جَزَاۤءًۢ بِمَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ ١٧ ﴾
Tak seorangpun mengetahui berbagai nikmat yang menanti, yang indah dipandang sebagai balasan bagi mereka, atas apa yang mereka kerjakan .(QS. As Sajdah/32:17)
Imam ath-Thabari رحمه الله meriwayatkan dari al-Hasan, dia berkata, “Mereka menyembunyikan amalan di dunia maka Allâh عزوجل pun memberikan mereka pahala dengan sebab amalan-amalan mereka.”26
Kemudian ketahuilah -semoga Allâh merahmati kita- sesungguhnya memperlihatkan amalan kepada manusia, semua tercela kecuali jika dengan memperlihatkannya ada maslahat yang sesuai syariat. Ibnul Qayim رحمه الله mengumpamakan dengan seseorang yang bersedekah secara terang-terangan agar orang lain termotivasi untuk bersedekah dan memberi, lalu beliau رحمه الله mengatakan, “Perbuatan memperlihatkan amalan seperti ini terpuji karena yang mendorongnya untuk melakukan itu bukan keinginan untuk mendapatkan pujian dan pengagungan serta pelakunya layak untuk mendapatkan pahala sebagaimana pahala mereka yang bersedekah (karena mengikutinya).”27
Jadi, beliau رحمه الله mengembalikan permasalahan ini kepada apakah amalan itu bermanfaat bila dilihat oleh orang lain? Masuk dalam hal ini adalah firman Allâh عزوجل :
﴿ ۞ لَا خَيْرَ فِيْ كَثِيْرٍ مِّنْ نَّجْوٰىهُمْ اِلَّا مَنْ اَمَرَ بِصَدَقَةٍ اَوْ مَعْرُوْفٍ اَوْ اِصْلَاحٍۢ بَيْنَ النَّاسِۗ وَمَنْ يَّفْعَلْ ذٰلِكَ ابْتِغَاۤءَ مَرْضَاتِ اللّٰهِ فَسَوْفَ نُؤْتِيْهِ اَجْرًا عَظِيْمًا ١١٤ ﴾
Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma’ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. dan barangsiapa yang berbuat demikian Karena mencari keridhaan Allah, Maka kelak kami memberi kepadanya pahala yang besar.(QS. An Nisa/4:114).
Dalam ayat ini, Allah عزوجل menegaskan bahwa tidak ada kebaikan pada mayoritas bisik-bisikan yang dilakukan oleh umat manusia kecuali bisik bisikan dalam masalah memerintahkan kepada yang ma’ruf. Dan diantara yang ma’ruf itu, Allah عزوجل secara khusus menyebutkan ibadah sedekah dan mendamaikan umat manusia karena manfaat dari kedua ibadah ini bersifat umum atau dirasakan oleh orang banyak.
Setelah membawakan perkataan di atas, Ibnu Rajab رحمه الله mengatakan, “Berbeda dengan orang yang shalat, berpuasa dan berdzikir kepada Allâh dengan tujuan meraih harta dunia, maka sungguh tidak ada kebaikannya sama sekali, karena tidak memberikan manfaat kepada seorang pun kecuali menjadikan seseorang mengikuti hal itu.”28
Sebagai penyempurna keikhlasan yaitu membersihkan amalan dari semua cela atau kotoran. Jika saat beramal, tiba-tiba muncul keinginan untuk dilihat orang, maka ia harus berusaha menghilangkannya namun ia tidak boleh meninggalkan amalan tersebut karenanya. Al-Fudhail bin Iyadh رحمه الله mengatakan, “Meninggalkan amalan karena manusia maka itu adalah riya sedangkan beramal karena manusia adalah syirik, dan ikhlas adalah jika Allâh عزوجل menyelamatkanmu dari kedua hal itu.”29
Wallahu a’lam wa shallahu a’la nabiyyina Muhammad wa a’la alihi wa shahbihi ajmain.
____________________________________________________
Footnote:
1 Diangkat dari Majalah al-Ishlah, edisi 10/Thn. ke-2, hlm. 48-52.
2 (2/91)
3 (5/348)
4 Tafsîr Ath-Thabari; 3/92
5 Al-Mu’jamul Kabîr (19/421) di dalam sanadnya ada orang yang bernama Shadaqah bin Abdillah as-Samîn. Orang ini dinilai lemah oleh Imam al-Bukhari dan lainnya. Namun hadits ini mempunyai syawahid (penguat) yang membuatnya naik ke derajat shahih, lihat Shahih jami’ (3759)
6 Shahîh al-Bukhâri, no. 620 dan Shahîh Muslim, no. 1712.
7 Fat-hul Bâri, 2/147. Lihat ats-Tsamarul Mustathaab, 2/629
8 Siyar A’lam Nubala, 4/393
9 Sunan Abu Daud, no. 1917; Sunan Nasa’i, no. 660; Ahmad, 4/157. Hadits ini shahih. Lihat Shahîhul Jâmi’, no. 8102
10 Al-Musnad, 4/335. Dalam sanadnya ada perawi yang bernama Syahr bin Hasyab. Imam Ibnu Majah, no. 1241 membawakannya dengan lafadz, yang artinya, “Apakah ada waktu yang paling dicintai Allâh daripada waktu yang lainnya?” Dan hadits ini shahih dari seluruh jalannya. Lihat Shahîhul Jâmi, no. 1106
11 Jâmi’ at-Tirmidzi, no. 2409. Hadits ini juga diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam al-Kubra, 2/202 dan ad-Darimi dalam kitab Sunannya, 1/405. Hadits ini shahih. Lihat Shahîhul Jâmi (7865)
12 Al-Mu’jamul Kabîr, 8/46. Sanad hadits ini hasan, karena ada Muhammad Ibnu Mush’ab al-Qarqasani. Dia dipandang lemah oleh Ibnu Ma’in dan ulama lainnya. Namun dia dinilai tsiqah oleh Imam Ahmad. Lihat Shahîhul Jâmi’, no. 4217
13 Az-Zuhd, 2/444. Juga diriwayatkan oleh Ibnul Mubarak dalam Az-Zuhd, 1/392
14 Syuabul Iman, 5/352. juga diriwayatkan oleh Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasqa, 22/68 dan Abu Nuaim di Hilyah, 3/240 dengan lafadz, “Uktum hasanataka”
15 Shahih al-Bukhâri, no. 1771 dan Shahîh Muslim, no. 1942 dari jalan Abu Hurairah رضي الله عنه .
16 Gharîbul Hadîts, 2/195. Lihat juga Syarh Shahîh al-Bukhâri karya Ibnu Bathâl, 4/8 dan Miftah Dârus Sa’adah, 2/323
17 Fat-hul Bâri, 4/108
18 Tafsir ath-Thabari, 8/206
19 Siyar A’lam An-Nubala, 6/378
20 Siyar A’lam An-Nubala, 6/20
21 Ini sengaja beliau lakukan untuk menyembunyikan perasaan tersentuh beliau رحمه الله .
22 Siyar A’lam An-Nubala, 6/405
23 Siyar A’lam An-Nubala, 6/408
24 Wafi yat al-A’yan; 3/228
25 Shahîh Muslim, no. 5266
26 Tafsir ath-Thabari, 21/106
27 Madarijus Salikin, 2/85
28 Jamiul Ulum wal Hikam, 1/12
29 Al-Baihaqi dalam Syuabul Iman, 5/347 dan Abu Nu’aim dalam al-Hilyah, 8/95
Edisi 12/Thn. XXI/Rajab 1439H/April 2018M